Dasar Teologis dan Paedagogis Masyarakat Pluralisme Indonesia
Dasar Teologis
Dasar Teologis merupakan salah satu bagian dari sub topik pembahasan dari Mata Kuliah Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Majemuk atau sering disingkat PAK dalam Masyarakat Majemuk. Dasar teologi yang saya maksud dalam sub topic ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
Dasar teologis tentang masyarakat majemuk dalam uraian ini tidak bersifat biblika yaitu mencari refrensi ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan masyakat majemuk, kemudian dicari makna aslinya (eksegesis). Usaha eksegesis itu sangat penting. Akan tetapi dalam usaha memahami dasar teologis tentang masyarakat Pluralisme Indonesia, saya menggunakan pendekatan teologis-filosofis. Yang saya maksudkan dengan pendekatan filosofis-teologis yaitu pembicaraan topik-topik tertentu secara lintas teks Alkitab, usaha memahami lintas teks ini bermaksud merangkum pemahaman tentang masyarakat majemuk.
Ketika kita membicarakan masyarakat majemuk, kita perlu meletakkan percakapan masyarakat majemuk dalam dasar yang disebut dengan dasar teologis dan paedagogis. Jika demikian apa dasar teologis dan Paedagogis dalam masyarakat majemuk. Upaya membahas dasar teologis dan Paedagogis dalam masyarakat majemuk utama dan pertama kita dasarkan pada Alkitab dan sumber-sumber teologi (hasil pemikiran para teolog). Sumber teologi kedua ini tentulah didasarkan pada Alkitab. Artinya pemahaman para teolog tentang sikap Kristen terhadap penganut agama-agama lain tentunya didasarkan pada Alkitab. Sedangkan akan sumber pertama yaitu Alkitab yang diyakini gereja sebagai kanon patut dijadikan sebagai sumber utama berteologi tentang sikap Gereja/Kristen/guru agama Kristen/pendidik Kristen terhadap pluralisme agama. Akan maksud demikian mungkin terbersit pertanyaan: Apakah Alkitab menyaksikan tentang masyarakat majemuk/pluralisme?. Bila kita katakan ya, maka segera muncul pertanyaan, apakah Alkitab adalah kitab masyakat majemuk? Jawabannya tentu tidak. Alkitab bukan kitab masyarakat majemuk tetapi kitab yang menyaksikan salah satu realitas yaitu masyakat majemuk. Alkitab memulai kesaksiannya tentang masyarakat dengan dua manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa (bnd. Kej. 2), manusia itu beranak cucu dan berkembang dari masa ke masa sampai terbentuknya suatu kelompok masyarakat yang agamis, yaitu umat Israel dengan kelompok masyarakat yang menyembah dewa-dewa. Berbeda secara agamawi, selain itu perkembangan manusia melahirkan perbedaan-perbedaan dalam sosial, budaya, kekuasaan (politik), ekonomi dan lain-lain. Tegasnya Alkitab menyaksikan tentang masyarakat majemuk yang dimulai dengan Adam dan Hawa, Kain, Habel, Zet, Nuh, Abraham dan seterusnya sampai umat Israel. Tuhanlah yang menciptakan manusia, entah itu manusia yang saleh maupun manusia berdosa termasuk manusia yang kafir adalah ciptaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan manusia kafir, Tuhan menciptakan manusia, dan dalam perkembangannya ada manusia yang percaya kepada TUHAN dan ada pula yang tidak percaya. Bagian ini menyangkut doktrin pilihan yang dapat dipercakapkan dalam Dogmatika (Soteriologi).Tegasnya secara teologis anggota dari masyarakat majemuk yaitu manusia adalah ciptaan Tuhan. Kitab Kejadian dan kitab-kitab dalam Alkitab membenarkan hal itu. Manusia dari suku, budaya, tingkat social, agama manapun, tetap manusia adalah ciptaan TUHAN.
Berikut ini diberi beberapa kasus yang berhubungan dengan pergumulan mencari dasar teologis dan paedagogis masyarakat majemuk, yaitu bagaimana bersikap terhadap sesama yang berbeda agama.
Kasus-kasus Pluralisme Asia dan Indonesia
Kasus Asia: di Chiang Mai, Muang Thai, 18 – 27 April 1977
“Dialog pertemuan dengan “mereka yang di luar”: Renungan Alkitab Chr. Barth
Gereja dalam sejarah perkembangannya terus menghadapi berbagai pergumulan, khususnya dengan sesama yang beragama lain. Bagaimana gereja bersikap terhadap sesama yang beragama Islam, Hindu, Budha, Kong Fu Cu dan agama-agama lainnya yang tidak disebutkan disini. Dalam sebuah pertemuan Gereja berskala dunia yang disebut dengan Dewan Gereja Dunia (DGD). Di dalam pertemuan itu, pokok yang dibahas adalah bagaimana menentukan sikap terhadap orang-orang yang beragama non Kristen. Bagian ini disebut dengan “Dialog”. Apa dan bagaimana Gereja/orang Kristen berdialog dengan agama-agama lain?. Apakah praktik “dialog” yang dilakukan gereja/orang Kristen itu memiliki dasar teologis (Alkitab). Salah satu jawaban itu dapat kita perhatikan dalam renungan Prof. Dr. Chr. Barth terhadap peserta siding DGD di Chiang Mai. Bart memakai istilah “mereka yang di luar” untuk menunjukkan sesama yang beragama lain/di luar agama Kristen, seperti saudara-saudara kita yang beragama Hindu, Budha, dan Islam. Persoalan yang mendasar yaitu “bagaimana seharusnya orang Kristen mendekati mereka yang di luar gereja? Apakah dengan penginjilan yang tradisional, atau dalam sikap baru yang yang bersedia untuk belajar dari pihak yang lain?. Sikap seperti apakah yang mesti dipakai dalam hubungan dengan sesame yang berbeda agama yang hidup secara bersama dalam sebuah masyarakat Indonesia.
Bagaimana setiap pendidik Kristen memahami kesaksian Biblika tentang pergumulan pluralism?.
Renungan Prof Bart merupakan salah satu dari sekian usaha untuk memahami pergumulan kehidupan orang Kristen dengan segenap tugas didaktik-Nya yang dilaksnakan dalam masyarakat majemuk. Dalam renungan Chr. Bart, dipakai dua istilah yang menarik, yaitu:
(1) Lingkungan dalam, dan
(2) Lingkungan luar
Alasan biblika yang dikemukan dalam renungan Prof. Dr. Chr. Bart yaitu bahwa Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Lama disaksikan bahwa sejak awal dunia TUHAN memperhatikan manusia. Dengan kata lain, Alkitab menyaksikan betapa besar perhatian TUHAN terhadap manusia. Perhatian TUHAN terhadap segenap manusia tidak menghilangkan apa yang disebut Bart dengan “lingkungan dalam, dan lingkungan luar”. Dua lingkungan itu punya hubungan dengan TUHAN dan sesama. Tuhan berhubungan dengan “lingkungan dalam”, yaitu umat pilihan-Nya, sementara dengan “lingkungan luar” yaitu umat non pilihan agak jarang TUHAN berhubungan dengan lingkunag luar. Bila Bart menyatakan renungan seperti ini, tidak secara otomatis Bart dinilai orang yang hendak mengesampingkan “lingkungan luar” (orang-orang bukan umat pilihan TUHAN/non Israel pada waktu itu). Akan tetapi yang ingin ditekankan Bart adalah pentingnya suatu pokok dalam Alkitab bukanlah ditentukan karena banyak ayat dalam Alkitab PL yang menekankan hal itu. Memang benar bahwa lingkungan dalam lebih banyak dibicarakan dalam Alkitab tetapi Alkitab juga bicara tentang perhatian Tuhan terhadap lingkungan luar melalui anggota lingkungan dalam, hal itu dapat kita perhatikan dalam Kasus Yunus yang diutus ke Niniwe. TUHAN memberi perhatian terhadap lingkungan luar yaitu Niniwe dengan jalan mengutus Yunus (salah satu anggota) lingkungan dalam (umat pilihan) untuk menyatakan perhatian Tuhan terhadap orang lain (warga Niniwe).
Beberapa nats Alkitab yang berhubungan dengan “orang luar”, dan yang dapat dikatakan “merangkumi” (inklusif).
1. Kejadian Pasal 12
2. Kejadian Pasal 13
3. Kejadian Pasal 14
4. Kejadian Pasal 15
5. Kejadian Pasal 16
6. Kejadian Pasal 17
7. Kejadian Pasal 18
8. Kejadian Pasal 19
9. Kejadian Pasal 20
10. Kejadian Pasal 21
11. Kejadian Pasal 22
12. Kejadian Pasal 23
13. Kejadian Pasal 25
14. Kejadian Pasal 26
15. Kejadian Pasal 27
16. Kejadian Pasal 28
17. Kejadian Pasal 29
18. Kejadian Pasal 30
19. Kejadian Pasal 31
20. Kejadian Pasal 32
21. Kejadian Pasal 33
22. Kejadian Pasal 34
23. Kejadian Pasal 35
24. Kejadian Pasal 13
25. Kejadian Pasal 36
26. Kejadian Pasal 37
27. Kejadian Pasal 38
28. Kejadian Pasal 39
29. Kejadian Pasal 40
30. Kejadian Pasal 41
31. Kejadian Pasal 42
32. Kejadian Pasal 43
33. Kejadian Pasal 44
34. Kejadian Pasal 45
35. Kejadian Pasal 46
36. Kejadian Pasal 47
37. Kejadian Pasal 48
38. Kejadian Pasal 49
39. Kejadian Pasal 50
40. Efesus, 2 (Jauh, dan dekat/ Komunitas Jauh dan Komunitas Dekat)
Lingkungan dalam dan Lingkungan Luar: Eksklusif dan Inklusif
Pokok percakapan ekslusif dan inklusif memang akan dibicarakan pada pokok-pokok terakhir dari mata kuliah PAK dalam Masyarakat Majemuk dalam topic “Sikap Inklusif dan Multikultural”. Namun dalam paparan ini hendak dibicarakan eksklusif dan inklusif dalam hubungan dengan dasar teologi Masyarakat Pluralisme Indonesia. Sikap eksklusif dan inklusif dari “lingkungan dalam”. Artinya sering umat Israel bersikap eksklusif (tertutup) dan inklusif (terbuka) terhadap sesama yang berbeda agama. Sikap eksklusif dan inklusif itu tidak hanya ada pada umat-Nya tetapi juga dilakukan oleh TUHAN. Dengan kata lain TUHAN sering bertindak eksklusif dan inklusif. Prof. Dr. Chr. Bart. Bart dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono menyatakan:
Sering TUHAN bertindak hanya sebagai Allah orang Israel saja. Periode seperti itu disebut eksklusif. Selain itu TUHAN juga bertindak sebagai Allah seluruh bangsa, tindakan seperti ini disebut Inklusif. Akan hal ini Chr. Bart menyatakan bahwa ini bukan cita-cita inklusif, akan tetapi tindakan Allah yang merangkumi bangsa-bangsa serta anggota-anggotanya. Bart juga menyatakan bahwa ini bukan juga teori universalisme atau ajaran bahwa TUHAN yang esa adalah Tuhan segenap manusia, melainkan sesuatu tindakan TUHAN pada zaman bangsa-bangsa pada waktu itu, hal ini mendorong para nabi, ataupun pemberita lainnya, untuk menulis nats-nats yang bersifat perangkum itu. (Ibid)
Bart dalam renungannya memperkenalkan paling tidak tiga zaman utama yaitu zaman di mana umat Israel menyaksikan kerelaan Tuhan untuk bertindak sebagai Allah semua bangsa. Pembagian ini menurut Bart dimulai dengan (1) zaman raja Daud dan (2) zaman raja Salomo.
Zaman dari kedua raja ini yaitu raja Daud dan Salomo terjadi penaklukan berbagai-bagai bangsa dan suku-bangsa tetangga yang sejak itu berada dibawah pemerintahan yang sama dengan suku-suku Israel sendiri.
Di dalam Negara dan masyarakat yang majemuk itu, orang-orang Israel dan orang-orang asing itu mulai bertemu dan bergaul secara intensif; kadang-kadang bangsa Israel menaruh perhatian (konsentrasi) pada hubungan yang timbal balik yang makin mendalam. Selanjutnya Bart menyatakan bahwa pergaulan yang erat itu hanya berlangsung selama dua-tiga angkatan saja. Ketika kerajaan Israel raya terpecah menjadi dua kerajaan kecil maka bangsa-bangsa tetangga hidup berdaulat kembali sehingga hubungan menjadi makin lama makin renggang, dan umat Israel semakin menyendiri kembali (eksklusif)
(3) Tiga abad kemudian (setelah Daud dan Salomo) , bangsa Israel mengalami suatu krisis yang dahsyat. Hukuman Allah menimpa umat Israel dan sebagian besar dari anggotanya tersebar di antara segala bangsa di Timur tengah kuno. Namun demikian umat Allah hidup terus dan Tuhan tetap berfirman kepada bangsa Israel melalui perantaraan para nabi. Pada zaman yang pahit itulah bangsa Israel untuk kedua kalinya membuka diri untuk berdialog dengan bangsa-bangsa yang tidak seiman dengan mereka. Sikap ini disebut inklusif (M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono)
Zaman yang inklusif itu diganti dengan abad-abad kesepian, di mana Israel menyendiri dan menutup diri sekedar untuk menemui kembali identitasnya sendiri dan untuk mempertahankannya. Dengan menaklukkan seluruh Timur Tengah di bawah pemerintahan Iskandar terbukalah zaman yang ke tiga; di dalam kerajaan raksasa itu bangsa-bangsa timur dan barat dipersatukan. Bangsa Israel belajar mengenal dengan masing-masing kebudayaan dan agama dan saling mempengaruhi.
Ketika Bangsa Romawi menguasai tanah perjanjian terjadilah pengaruh yang disebut “hellenisme”. Zaman itu (zaman hellenisme) memaksa kaum Yahudi/bangsa Israel untuk berdialog secara baru dengan yang tidak seagama dengan orang Yahudi, dalam istilah Bart mereka ini disebut “orang-orang luar”. Akibat pertemuan itu kelihatan dalam bagian-bagian Alkitab yang ditulis pada zaman itu, sama seperti halnya pada kedua zaman “inklusif” yang sebelumnya.( M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono)
Rasul Paulus memakai istilah yang dahulu “jauh”, dan menjadi “dekat”. .Zaman itu disebut dengan zaman penggenapan sejarah umat Allah yaitu zaman dalam kedatangan Kristus. Perkataan Rasul Paulus: mereka yang dahulu “jauh” sudah menjadi “dekat” di dalam Yesus Kristus, yang telah meruntuhkan tembok pemisah antara kaum Yahudi dan kaum kafir sekali untuk seterusnya (Efesus 2)
Nats-nats yang dipakai oleh Prof. Dr. Chr. Bart untuk menggambarkan bagaimana “bangsa Israel/umat pilihan” termasuk “Gereja/orang Kristen” berdialog dengan orang-orang yang bergama lain. Ayat-ayat itu terambil dari antara tulisan-tulisan Zaman pertama. Bagi Bart, pertemuan antara umat Allah dan bangsa-bangsa lain menjadi hal yang paling menarik. Bart menyatakan: bukankan disinilah Israel menggumuli untuk pertama kalinya, bagaimana tempatnya di tengah-tengah umat manusia seluruhnya? Bart menjawabnya dengan menyatakan: “pada zaman raja-raja Daud dan Salomo terkaranglah karya-karya sejarah , kebijaksanaan dan syair-syair yang tak terbanding. Penelitian ilmiah terbaru juga membuktikan , bahwa pada zaman itu cerita-cerita tentang para bapa leluhur, yang tadinya beredar dalam bentuk lisan, mulai diberikan bentuk tertulis, dan dengan demikian mendapat tekanan-tekanan yang baru (Kejadian 12-50)”.
Cerita tentang Abraham, Ishak dan Yakub mulai pada kejadian 12:1 dengan perintah Allah yang terkenal itu kepada Abraham: “Berfirmanlah TUHAN kepada Abram” “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”.
Kelangsungan cerita ini nampak dengan jelas apabila kita beralih pada ayat 4: lalu pergilah Abram seperti yang difirmanlan TUHAN kepadanya.
Cerita yang sederhana dan berkesan itu hanya menyangkut Abram dan Allah saja. Jika untuk sementara kita hanya memperhatikan ayat-ayat yang langsung melanjutkannya maka kita membaca : Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem (ayat 6). Di situ TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu”. Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampkakkan diri kepadanya (ayat 7).
Kemudian dilaporkan bahwa Abram meneruskan perjalannya ke Bethel (ay. 8), lalu sekali lagi diberikan janji , bahwa keturunannya akan dianugerahkan negeri itu (13:17) dan bagaimana akhirnya ia tiba di tempat suci di Mamre, dekat Hebron dan menetap di sana (13:18). Di tempat tujuan perjalanan itu Allah sudi mengikrarkan janji dengan penuh hikmat, bahwa “negeri mulai dari sungai Mesir sampai ke suangai yang besar, Efrat itu” yaitu daerah-daerah banagsa yang lain yang pernah Daud miliki pada puncak kekuasaannya, akan diberikan kepada keturunan Abram itu (Kej. 15: 18-21).
Beberapa pertimbangan tentang jalannya cerita ini membawa kita kepada suatu penemuan yang penting, yaitu:
1. Di dalam kisah yang telah dibacakan tadi nampaknya kita menghadapi sebuah “laporan perjalanan”, yakni bagaimana Abram pindah dari Haran ke Hebron dengan berhenti sebentar di Sikhem dan di Bethel itu. Kalau pengalaman Abram di Mesir(12:10-20), peristiwa antara Abram dan Lot (13:1-13), peperangan Abram terhadap raja-raja di Timur (fs 14), janji kelahiran seorang putra serta pemberian janji Allah kepada Abram (fs 15), maka semua cerita ini ditambahkan pada kisah inti, dengan alasan dan tujuan yang berlain-lainan.
2. Kisah inti nampaknya bermaksud menceritakan bagaimana Abram dijanjikan suatu negeri kepunyaannya dan bagaimana ia pergi memilikinya dengan syah. Janji diulang berkali-kali, dan pengalimatannya makin lengkap, di setiap tempat perhentiannya Abram memberikan sebuah mezbah bagi Tuhan, seakan-akan ia turut menanda-tangani surat penghibahan resmi yang Allah berikan itu.
3. Di dalam kisah inti nampaknya kebanggaan orang Israel pada zaman raja Daud, dimana segala janji Allah kepada Abram terwujud dan sejumlah bangsa saling ditaklukkan oleh umat Allah. Kisah ini sedikit-banyak mencerminkan kebanggaan nasional, bahkan semacam kesombongan yang saleh. Boleh jadi bahwa pada zaman raja Daud sikap yang demikian tidak dapat dikatakan salah.
Dengan cerita inti tadi sebagai landasan, ada baiknya kalau sekarang kita
memperhatikan sejumlah ayat dari fasal 12 yang tadi kita biarkan. Setelah zaman Daud yang mulia itu berlalu, kisah Abram diceritakan terus, namun diberikan tekanan baru. Telah timbul angkatan baru yang diperhadapkan dengan keadaan yang baru pula. Di bawah pimpinan Roh Tuhan, pengertian baru terjalin ke dalam kisah Abram itu. Dua tambahana dari jaman tersebut patut dibicarakan di sini.
Yang pertama adalah Kejadian 12:2-3 yang terselip antara perintah Allah (“pergilah…. Ke suatu negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”) dan pelaksanaannya oleh Abram itu (“ lalu pergilah Abram seperti difirmankan Allah kepadanya”). Allah berfirman: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar dan memberkati engkau serta membuat namamu besar, dan engkau akan menjadi berkat, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”
Tak dapat disangkal bahwa dengan penambahan itu kisah Abram diberikan makna yang baru : Abram dan keturunannya tidak lagi menikmati rencana penyelamatan Allah itu sendiri saja, orang-orang di luar Israel juga mendapat bagian di dalam keselamatan itu. Lagi pula Abram tidak menerima berkat bagi dirinya saja, iapun mendapat suatu peranan baru: ia beserta keturunannya menjadi pengantara berkat kepada kaum manusia seluruhnya. Bangsa-bangsa di muka bumi, dan pertama-tama bangsa-bangsa tetangga menjadi partner bagi dia, orang-orang yang memerlukan Abram dan orang-oranmg yang dibutuhkannya sendiri pula. Peranan baru ini menjadi suatu tanggung jawab yang hebat bagi bapa leluhur serta keturunannya; tradisi tentang Abraham, Ishak dan Yakub menekankannya berulang-ulang (Kej 18:18; 28:14; bnd 26:4; 22:18 Yes 19:24)
Penambahan yang demikian mencerminkan bahwa mereka yang memberikan kepada kisah Abram bentuk dan isi yang kita kenal sekarang ini, dikaruniakan suatu pengertian baru tentang maksud Allah. Pengertian yang baru itu datang dari pada Tuhan, tetapi baru dipahami orang di dalam suatu zaman sejarah, dimana orang-orang dari berbagai-bagai bangsa, suku, budaya dan agama harus hidup bersama dalam kerajaan yang satu, seperti halnya di bawah pemerintahan raja Daaud dan Salomo itu.
Di dalam Kejadian 12 itu terdapat suatu penambahan yang lain lagi, yakni perjalanan Abram ke Mesir (12: 10-20). Di situ diberitakan bagaimana Abram jatuh dan gagal: ia menyangkal istrinya sendiri, menghianati dia yang akan menjadi leluhur umat Israel, dan dengan demikian Abram membahayakan keakanannya sendiri serta keturunannya. Segala berkat dan janji yang telah dikaruniakan Allah kepada Abram apakah semuanya akan dibatalkan karena Abram berbohong itu?
Di dalam kisah ini bukan berkat, hidup dan keakanan bapa leluhur sendiri saja yang terancam, melainkan Firaun dan orang-orang Mesir itupun turut diperhadapkan pula malapetaka dan sengsara. Semestinya Abram menjadi suatu berkat bagi para pembesar di Mesir itu, sama seperti kemudian hari Yusuf akan menjadi suatu berkat bagi mereka itu. Akan tetapi ternyata bahwa Abram malah menjadi suatu ancaman. Kisah ini nampaknya bermaksud menerangkan, bahwa Abram tidak dapat menjalankan tugas-panggilannya dengan menggunakan tipu-daya. Suatu dialog antara “orang dalam” dan “orang luar” apalagi suatu persekutuan antara kedua pihak tidak mungkin selagi Abram menyangkal janji Allah dan takut terhadap manusia yang “di luar” itu.
Kita telah membicarakan pengertian baru yang dikaruniakan kepada para pembawa kisah kitab Alkitab yang termasuk pada angkatan yang hidup beberapa tahun tersebut menambah perkataan dan peristiwa yang menyangkut “orang luar” ke dalam cerita-cerita yang tadinya kurang memperhatikan orang di luar lingkungan sendiri. Apakah aliran pemikiran yang baru itu juga nampak pada bagian-bagian lain di dalam tradisi tentang para bapa leluhur? Memang demikian halnya. Di sini cukuplah kami sebutkan beberapa contoh yang terkemuka saja. Di dalam Kej. 18:18 janji Allah terancam oleh pemusnahan; bukankah hamba-Nya itu ditentukan menjadi suatu berkat bagi bangsa-bangsa? Makanya Abraham menaikkan doa syafaat bagi Sodom itu (18: 23-33), dan doanya itu tak lain daripada usaha Abraham untuk mengantarkan berkat kepada bangsa-bangsa yang “di luar” itu.
Pada Kej. 26, Ishak dan marganya tinggal di negeri orang Filistin. Kisah lama, yang berkobar-kobar semangat nasional itu diberikan pengarahan baru dengan penambahan-penambahan tertentu : diceritakanlah bahwa Ishak bersikap takut dan kurang percaya, sama seperti ayahnya di Mesir dulu (26:7-11), akan tetapi justru orang Filistin yang bangsanya akan menjadi musuh yang paling seram bagi Israel kemudian hari – memperingatkan Ishak bahwa ia diberkati Tuhan (ay 26 dan 280; akibatnya Ishak rela dibayangkan betapa besar tantangan kisah ini bagi pimpinan negara zaman Daud dan Salomo.
Kenyataan yang serupa dapat kita perhatikan di dalam cerita tentang Yakub dan Esau (Kej. 27:36). Jika pada mulanya Yakub di puji karena kepandaian yang licik itu, maka revisi yang diadakan pada zman Salomo berlainan pandangan.
Tentu saja Esau tetap merupakan bapa leluhur bangsa Edom dan Laban mewakili orang-orang Aram atau Siria, bangsa-bangsa yang menjadi sangingan yang berbahaya bagi bangsa Israel. Akan tetapi Yakub tidak lagi dipandang sebagai pahlawan. Ia tidak layak untuk menerima segala kasih dan kesetiaan yang Tuhan tunjukkan kepadanya (Kej. 32:10). Ia bertindak seperti seorang hamba yang rendah, bahkan yang pernah bersalah, terhadap Esau, dan memohon perdamaian berdasarkan persaudaraan antara mereka. Laban dilayani olehnya empat belas tahun lamanya dan dijadikannya seorang yang kaya raya; hanya dengan demikian maka Yakub sendirianpun diberkati dengan berlimpah-limpah.
Melalui Abraham, Ishak dan Yakub dan keturunan mereka, melalui umat Allah dan masing-masing anggotanya, maka “segala kaum di muka bumi mendapat berkat”.
Bahan-bahan Alkitab ini tidak mungkin kita terapkan secara langsung pada masalah dialog antar agama (“dialogue in community”) yang dihadapi dalam konsultasi ini. Ketiga pertanyaan berikut ini hendak membuktikannya.
(1) Di dalam Alkitab tidak terdapat suatu pengajaran tentang makna dialog antar agama itu; kita hanya melihat sejumlah contoh tentang apa yang bisa terjadi, apabila orang dari dalam umat Allah yang terpilih itu hidup bersama dengan orang-orang “ dari luar” itu. Kita mendengar bahwa umat Allah diberikan pengertian baru tentang maksud Allah melalui peristiwa yang mereka alami di dalam suatu babak sejarah yang tertentu. Orang dari “dalam” membuka diri secara baru kepada mereka yang dari “luar” dan rela mencari jalan tengah serta pendamaian, bahkan mereka rela melayani orang-orang dari “luar” itu. Apakah sikap yang terbuka dan inklusif ini, sama seperti sikap exklusif yang memelihara kepribadian sendiri saja – mempunyai saatnya masing-masing pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang tertentu?
(2) Bagian-bagian Alkitab yang telah kita renungkan tadi memperlihatkan beberapa contoh dan pola dari pertemuan dan dialog, di mana hasilnya sama sekali tergantung pada kerelaan Allah untuk memberikan berkat-Nya.
Sepata katapun tidak menyinggung pada suatu pembicaraan yang biasanya kita sebut “dialog antar agama”. Toleransi beragama, keinginan mengenal inti kepercayaan orang lain, kerelaan untuk belajar sesuatu yang baru dari pada orang yang berlainan agamanya, semuanya itu tidak termasuk hal yang disaksikan dalam nats-nats yang dibicarakan di atas. Apakah tepat jika diambil kesimpulan, bahwa berdialog berarti memungkinkan agar orang-orang “dari luar” itu turut memperoleh bagian yang dikaruniakan Allah itu, dan bahwa hal member bagian itu perlu “mendapat bentuk” tanda-tanda persekutuan yang konkrit dan cocok dengan situasi pergaulan yang dihadapi?
(3) Bagian-bagian Alkitab yang telah kita selidiki itu menentang sikap kebanggaan dan kesombongan yang bersifat politik, budaya, etis ataupun saleh. Para bapa leluhur tidak pernah berada di dalam kedudukan yang kuat, bila mereka menemui orang-orang dari “luar” itu. Meskipun mereka dianugerahkan harta benda, mereka ternyata agak lemah, bingung, bahkan bersalah, meskipun tak pernah juga mereka menjilat orang-orang yang lebih kuat daripadanya. Apakah benar bahwa, untuk “berdialog di dalam persekutuan”, kita harus lebih dahulu menyadari kegagalan kita sendiri? Kita, orang-orang Kristen yang terhisap masuk umat Allah, tidak mempunyai alasan untuk membanggakan diri sebagai pengantar berkat Allah. Kita hanya merupakan alat dalam pelaksanaan pemberkatan yang Tuhan kerjakan sendiri.
Sesama yang beragama Non Kristen.
Bila Chr. Bart yang lahir dan dibesarkan di keluarga dan lingkungan mayoritas Kristen memakai istilah “lingkungan dalam” dan “lingkungan luar” untuk menggambarkan gereja/persekutuan Kristen dan orang di luar gereja, maka tidak demikian dengan pergumulan S. Wesley Ariarajah, ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang beragama Hindu di Sri Lanka. Ia seorang teolog dan pendeta Gereja Metodis di Sri Langka yang kemudian menjadi Profesor Teologi Oikumenis di Drew University School of Theology, Madison, New Jersey (USA). Ia memakai istilah “Tak Mungkin Tanpa Sesamaku” untuk menggambarkan sikapnya terhadap orang-orang non Kristen yang hidup berdampingan dengan warga gereja/orang Kristen di Asia. Karena di manapun dan kapanpu seseorang bertemu orang lain dari berlainan agama yang merupan pengalaman setiap hari, khususnya orang-orang Kristen di Asia dan Timur Tengah.
Berikut ini kisah pengalaman pribadi S.Wesley Ariarajah ketika lahir dan dibesarkan di Sri Langka.
Saat ia (S Wesley Ariaraja, selanjutnya disingkat SWA) masih pelajar, ia sekeluarga tinggal di sebuah kota dekat pantai sebalah utara Sri Lanka yang bernama KKS, nama sebenarnya adalah Kankesanthurai. Kankesanthurai berarti kota pelabuhan di tempat Dewa Kankesan yang merupakan salah satu Dewa dalam Agama Hindu, tiba di Sri Lanka dari India. Para Penjajah Portugis, Belanda, dan Inggris melafalkan nama kota ini dengan ucapan “Yalpanam”, kota ini disebut “kota penyanyi dengan harpa”, nama kota ini dilafal lagi menjadi “Jaffna”, dan Kankesanthurai menjadi KKS.
Warga warga penduduk di KKS mayoritas beragama Hindu. Walaupun demikian ada beberapa keluarga Kristen di KKS, seperti Katolik Roma, dan keluarga SWA yang merupakan salah satu dari dua keluarga Protestan yang ada di kota KKS. Keluarga Kristen Protestan yang lain hanya terdiri dari satu orang, sedangkan dalam keluarga SWS terdapat enam orang, yaitu kedua orangtua dan empat bersaudara SWA.
Di Sri Lanka, Gereja menganggap tiap rumah tangga itu satu “keluarga”, tanpa melihat besarnya. Menurut SWS, tidak ada gedung gereja Protestan di KKS. Di kota terdekat yang memiliki gedung gereja hanya beranggotakan tiga keluarga. Tidak ada pendeta, tetapi hanya seorang “pendeta tamu”. Kalau keluarga SWA tidak berbakti di salah satu hari Minggu, dan yang lain juga demikian, maka kebaktian Minggu itu hanya berupa doa pribadi pendeta. Keluarga SWA merupakan tujuh puluh persen dari jumlah anggota dan seratus persen dari jumlah anak-anak gereja itu.
Semula mereka tinggal di Jaffna, ibu kota Sri Lanka bagian utara, di mana ada satu jemaat Methodis yang besar, aktif dan berkembang. Mereka (SWA bersaudara) lahir di Sri Lanka. Namun, ketika SWA berumur lima tahun, mereka pindah karena Ayahnya dipindahkan ke KKS.[9]
Akibatnya, kata SWA: kami dikelilingi tetangga beragama Hindu. Sebagai anak-anak SWA bersaudara bermain dengan anak-anak Hindu, mereka pergi ke sekolah bersama anak-anak tetangga yang beragama Hindu, dan seperti lazim terjadi di Asia, mereka (SWA bersaudara) keluar masuk rumah sepanjang hari. Malah dua anak tetangga sebelah, secara teratur, ikut persekutuan doa malam keluarga mereka. Mereka berdoa untuk kegiatan mereka setiap hari, menyanyikan bersama sejumlah lagu, membaca Alkitab, dan dua atau tiga orang, termasuk anak-anak berdoa syafaat. Anak-anak keluarga Hindu itu senang, dan keluarga mereka juga senang bahwa anak-anak mereka bisa berdoa bersama kami. Kadang-kadang kami dari keluarga Kristen juga datang ke rumah keluarga Hindu di malam hari saat mereka melakukan pujas (doa agama Hindu) dan menyanyi tevarams (lagu-lagu devosional).
Ayah mengirimnya SWA dan kakanya ke sekolah berasrama Metodis di Jaffna agar mereka dapat memperoleh “pendidikan yang lebih baik” dalam “lingkungan Kristiani”. Tetapi dalam liburan, dan kalau akhir minggu panjang, mereka pulang ke KKS. Dengan demikian, anak-anak tetangga SWA yang beragama Hindu menjadi teman terdekat mereka. Saat SWA beranjak dewasa dan mulai memahami masalah-masalah agama, SWA mulai sadar akan perbedaan-perbedaan yang ada antara Kekristenan dan Hinduisme, dan menyatakan: mengapa kami beragama Kristen dan bukan Hindu. SWA juga sadar bahwa para tetangganya merupakan penganut agama Hindu yang setia, dan bagi mereka doa-doa mereka mengandung arti yang dalam. Ada hal-hal yang sangat berkesan bagi SWA adalah doa-doa tetangga yang beragama Hindu tentang kehidupan ini terwujud. Pengnut Agama Hindu adalah anggota yang sadar akan masalah masalah etis. Kenyataan bahwa SWA sekeluarga bukan Hindu, samasekali tidak berdampak kepada sikap tetangga yang beragama Hindu terhadap mereka. SWA menyatakan bahwa mereka dianggap tetangga yang beragama Hindu sebagai anak-anak mereka sendiri. Sikap keterbukaan dan kesetiakawanan ini juga diperlihatkan kepada tetangga-tetangga lainnya. Jauh sebelum SWA belajar teologi dan mampu memahami masalah-masalah agama, SWA sadar bahwa mereka adalah keluarga yang berakar dalam kasih Allah.
Walaupun SWA sangat menghargai Hinduisme sebagai satu agama dan mengagumi beberapa aspek wawasannya dalam kehidupan dan kenyataan, SWA tidak terlalu jatuh cinta padanya saat itu, atau kini setelah mempelajarinya secara mendalam. SWA mengenal banyak keluarga Hindu yang bukan merupakan penganut yang saleh, seperti juga banyak keluarga Kristen. Tidak juga berarti bahwa menjadi Hindu akan langsung membuat seseorang sensitive secara etis. Kenyatannya, saat itu banyak penganut Hinduisme yang menganggap penganut Kristen Protestan sebagai orang-orang yang bermoral tinggi dan menginginkan anak-anak mereka bergaul dengan kami. Lagi pula, para tetangga kami bukan orang-orang yang luar biasa. Sebagai keluarga, mereka juga memiliki kemampuan dan kelemahan, sebagaimana keluarga Sri Lanka pada umumnya, mereka bukan malaikat.
Namun, kesalehan religius yang tergambar dalam kehidupan mereka sangat berkesan. Kami memperoleh kesempatan untuk menikmati dan mengalami pengalaman hidup bersama, bukan hanya sebagai tetangga dekat, namun hampir sebagai keluarga sendiri. Nama keluarga mereka Sathasivam, yang artinya “Sang Abadi yang selalu bersama kami”. Satu nama yang cocok sekali.
Yang Satu dan Yang Banyak.[10]
Ketika menjelang dewasa dan mulai lebih serius terlibat dalam kegiatan iman Kristen, melalui gerakan mahasiswa, berbagai kelompok studi di gereja dan semacamnya, sedikit demi sedikit saya mulai mendengar tentang “misi”. Secara umum dapat dikatakan : semua manusia berdosa dan tersingkir dari Allah. Kita tidak mampu memperoleh keselamatan dengan kemampuan sendiri. Namun Allah, dalam kebaikan dan anugerah-Nya, telah menyatakan diri-Nya dalam Yesus. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya Yesus telah membuka jalan menuju keselamatan. Sebagai pengikut Kristus, kita sudah diselamatkan yang dia tawarkan secara cuma-cuma. Kini tanggungjawab kita adalah menyampaikan Injil ini kepada para tetangga kita yang beragama Hindu dan membawa mereka kepada Kristus.
“Bagaimana dengan orang Hindu yang berdoa dan menjalin hubungan penuh kasih dengan tetangga dan menjalankan kehidupan etis yang saleh?” saya bertanya dalam suatu kesempatan di kelompok studi.
“Memang ada orang Hindu yang baik, dan kita harus menghormati mereka”, seseorang menjawab dengan agak enggan. “Namun,, sebagaimana orang-orang religius, mereka tersesat, mereka tidak mengenal Allah yang sebenarnya. Bagaimanapun juga, kalau mereka tidak mengaku dan percaya kepada Kristus, mereka tidak akan diselamatkan”.
Para penginjil yang keras sering melakukan pertemuan terbuka di staduin Jaffna saat itu, lebih keras lagi sikapnya dengan menuduh penganut Hinduisme sebagai “penyembah berhala” dan “percaya takhyul”. Sementara kita orang Kristen telah yakin akan masuk surga, orang Hindu yang tidak percaya akan masuk neraka. Oleh karena itu, ada keharusan menyebarkan Injil kepada orang Hindu agar percaya kepada Kristus.
Ini yang Alkitab, firman Allah, ajarkan kepada kita, kata para penginjil itu sambil mengutip ayat-ayat di luar kepala.
Siapa yang berani menentang Alkitab?
Namun, hati saya hancur, mendengar pandangan semacam itu..
Saat itu memang saya seorang Kristen tulen dan angota persekutuan penelaan Alkitab, kelompok doa dan sebagainya. Saya termasuk salah seorang siswa yang disuruh misionaris di Jaffna untuk membagi-bagikan selebaran berisi ayat-ayat Alkitab di desa-dea sekitar. Saya juga sadar bahwa lebih sering orang Hindu tidak “peduli”. Mereka dengan rasa hormat mendengarkan apa yang kami katakan dan berdiskusi dengan kami, tetapi jarang yang bertobat.
Apakah tetangga saya di KKS juga akan masuk neraka karena mereka bukan Kristen? Apakah mereka sama sekali tidak ada relasi dengan Allah? Apa pandangan kita tentang kehidupan peribadahan mereka dan semua dampak ibadah mereka?
Saat itu saya belum mampu memahami masalah itu secara teologis; saya juga tidak memiliki pengetahuan apapun tentang itu. Namun, saya “merasakan” sesuatu yang dalam, bahwa tidak adil rasanya kalau Allah menerima kami, keluarga Kristen kealam surga dan mengirim tetangga kami yang Hindu ke neraka. Saya belum mampu memahaminya dengan baik, hal itu sangat tidak adil. Saya tidak bersedia masuk surga kalau tetangga saya tidak.
Belum lama ini saya membaca sebuah buku yang juga telah difilmkan, berjudul Not Without My Daugter, mengenai masalah yang berbeda tentunya. Kedua masalah ini sulit saya pahami karena saya khawatir akan memperkuat karikatur yang kini ada dalam Islam. Namun, judul maupun filmnya merupakan gema yang jelas sekali dari perasaan yang menimpa saya empat puluh tahun sebelumnya, saat saya mendengar para penginjil berbicara tentang keselamatan, surga dan neraka. Saat itu saya belum pernah memahami maupun mengatasi “perasaan” tersebut secara teologis.
Judul buku Not Without My Daughter (Tak Mungkin Tanpa Sesamaku), merupakan inspirasi dari buku yang saya baca itu yang kini bukan hanya merupakan pergumulan saya, tetapi juga dilema banyak orang Kristen di Asia yang hidup di antara sesama mereka sesuatu yang terkandung dalam ungkapan “kehidupan dalam Allah”. Terkadamg hubungan itu begitu erat dan pemahaman mereka tentang kehidupan spiritualitas “sesama” mereka begitu jelas sehingga mereka ditolak di dalamnya. Inilah yang bagi mereka, seperti juga bagi saya, suatu dilema moral.
Kini kita tidak lagi berbicara tentang kami “ke surga” dan mereka “ke neraka”. Kita mengenal mitos dan lambang dalam bahasa agama yang menunjukkan kedalaman berbagai kenyataan. Kebanyakan kita juga terlalu menganggap perlunya berbicara tentang kenyataan ini melalui metafora seperti “surga” dan neraka”. Kita sudah belajar menghormati iman sesama, karena itu jarang menuduh orang-orang Hindu sebagai “pemuja berhala”. Dalam gereja, pandangan teologi dan teologi agama-agama telah “diperluas” untuk menampung adanya pluralitas dan kebangkitan kembali agama-agama. Dialog antar agama dan kerja sama antar agama telah menjadi hal yang umum diterima.
Namun dari kalbu terdalam, muncul pertanyaan apakah kita telah mampu menyelesaikan ketegangan spiritualitas yang saya alami saat beranjak dewasa? Apakah gereja telah mengambil sikap terhadap kehidupan religius tetangga Hindu saya?
Saya teruskan cerita saya. Perhatian saya tertuju ke dua arah. Di satu sisi, dibawah pengaruh tokoh-tokoh Kristen, termasuk D.T. Niles, seorang tokoh oikumenis yang cukup dikenal, dan pendeta saya di Jaffna selama enam tahun yang mempersiapkan saya dan teman-teman untuk sidi , iman Kristen saya menjadi lebih teguh, dan melibatkan diri dalam pelayanan Gereja Metodis. Di sisi lain , saya memutuskan mungkin tanpa disadari, untuk tidak membiarkan dilemma tetangga-tetangga Hindu saya tanpa diteliti lebih dalam. Oleh karena itu, saya juga melakukan studi mendalam tentang agama Hindu dan Buddha, dan agama-agama yang menonjol di Sri Lanka yang dianut oleh 85% penduduk. Saya mulai tertarik dengan dialog antar agama yang dipimpin oleh seorang oikumenis veteran, Lynn de Silva.
Semua ini kemudian membuat saya terlibat dalam dialog Dewan Gereja se –Dunia (DGD), dan akhirnya mempimpin Sub-unit Dialog, suatu posisi yang ditinggalkan Stanlay Sumartha karena pensiun. Dr. Samartha, yang merintis program Dialog dari DGD dan memimpinnya selama periode pembentukan dan masa-masa sulit, adalah guru saya tentang agama Hindu dan filsafat India. Transisi kepemimpinan dari guru ke murid berjalan lancar.
Dasar Paedagogis
Secara paedagogis, berlangsung kegiatan orang dewasa memberi bimbingan atau tuntunan kepada orang belum dewasa untuk mencapai kemanusiaan secara utuh. Adam dan Hawa melaksanakan proses paedagogik itu kepada anak-anaknya, Kain, Zet melanjutkan proses paedagogik itu kepada anak-anaknya. Demikian seterusnya dalam proses perkembangan manusia sampai munculnya proses paedagogik secara formal (Sekolah). Dalam masyarakat majemuk pendidikan (mendidik) atau paedagogik yaitu kesediaan orang dewasa menuntun orang belum dewasa, atau tuntunan kepada anak dapat berlangsung.
Jadi dasar paedagogi masyarakat majemuk adalah bahwa tuntunan kepada anggota masyarakat majemuk yang masih belum dewasa (anak) mesti dilakukan oleh yang telah dewasa (orang tua, guru dll). Butuh orang dewasa dalam masyarakat majemuk untuk melaksanakan tuntunan/bimbingan/arahan kepada anak. Dalam konteks pemahaman demikian maka penting kehadiran seorang Guru Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat majemuk untuk melaksanakan tugas paedagogik itu. Bagaimana Guru Pendidikan Agama Kristen melaksanakan tugas paedagogik terhadap peserta didik dalam masyarakat majemuk, khususnya kemajemukan dalam agama, peserta didik Kristen akan berinteraksi dengan peserta didik yang berasal dari agama lain. Sikap seperti apakah yang dapat dipakai untuk bersikap terhadap saudara-saudara yang beragama non Kristen. Paedagogik di Sekolah, di Gereja, dan di Keluarga/rumah.
Misalnya bagaimana Guru Pendidikan Agama Kristen mendidik anak-anak di rumah ketika anak sedang menonton acara TV dari agama non Kristen? Ketika dikumandangkan azan di TV, dll.
Salam
Yonas Muanley
Dasar Teologis merupakan salah satu bagian dari sub topik pembahasan dari Mata Kuliah Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat Majemuk atau sering disingkat PAK dalam Masyarakat Majemuk. Dasar teologi yang saya maksud dalam sub topic ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
Dasar teologis tentang masyarakat majemuk dalam uraian ini tidak bersifat biblika yaitu mencari refrensi ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan masyakat majemuk, kemudian dicari makna aslinya (eksegesis). Usaha eksegesis itu sangat penting. Akan tetapi dalam usaha memahami dasar teologis tentang masyarakat Pluralisme Indonesia, saya menggunakan pendekatan teologis-filosofis. Yang saya maksudkan dengan pendekatan filosofis-teologis yaitu pembicaraan topik-topik tertentu secara lintas teks Alkitab, usaha memahami lintas teks ini bermaksud merangkum pemahaman tentang masyarakat majemuk.
Ketika kita membicarakan masyarakat majemuk, kita perlu meletakkan percakapan masyarakat majemuk dalam dasar yang disebut dengan dasar teologis dan paedagogis. Jika demikian apa dasar teologis dan Paedagogis dalam masyarakat majemuk. Upaya membahas dasar teologis dan Paedagogis dalam masyarakat majemuk utama dan pertama kita dasarkan pada Alkitab dan sumber-sumber teologi (hasil pemikiran para teolog). Sumber teologi kedua ini tentulah didasarkan pada Alkitab. Artinya pemahaman para teolog tentang sikap Kristen terhadap penganut agama-agama lain tentunya didasarkan pada Alkitab. Sedangkan akan sumber pertama yaitu Alkitab yang diyakini gereja sebagai kanon patut dijadikan sebagai sumber utama berteologi tentang sikap Gereja/Kristen/guru agama Kristen/pendidik Kristen terhadap pluralisme agama. Akan maksud demikian mungkin terbersit pertanyaan: Apakah Alkitab menyaksikan tentang masyarakat majemuk/pluralisme?. Bila kita katakan ya, maka segera muncul pertanyaan, apakah Alkitab adalah kitab masyakat majemuk? Jawabannya tentu tidak. Alkitab bukan kitab masyarakat majemuk tetapi kitab yang menyaksikan salah satu realitas yaitu masyakat majemuk. Alkitab memulai kesaksiannya tentang masyarakat dengan dua manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa (bnd. Kej. 2), manusia itu beranak cucu dan berkembang dari masa ke masa sampai terbentuknya suatu kelompok masyarakat yang agamis, yaitu umat Israel dengan kelompok masyarakat yang menyembah dewa-dewa. Berbeda secara agamawi, selain itu perkembangan manusia melahirkan perbedaan-perbedaan dalam sosial, budaya, kekuasaan (politik), ekonomi dan lain-lain. Tegasnya Alkitab menyaksikan tentang masyarakat majemuk yang dimulai dengan Adam dan Hawa, Kain, Habel, Zet, Nuh, Abraham dan seterusnya sampai umat Israel. Tuhanlah yang menciptakan manusia, entah itu manusia yang saleh maupun manusia berdosa termasuk manusia yang kafir adalah ciptaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan manusia kafir, Tuhan menciptakan manusia, dan dalam perkembangannya ada manusia yang percaya kepada TUHAN dan ada pula yang tidak percaya. Bagian ini menyangkut doktrin pilihan yang dapat dipercakapkan dalam Dogmatika (Soteriologi).Tegasnya secara teologis anggota dari masyarakat majemuk yaitu manusia adalah ciptaan Tuhan. Kitab Kejadian dan kitab-kitab dalam Alkitab membenarkan hal itu. Manusia dari suku, budaya, tingkat social, agama manapun, tetap manusia adalah ciptaan TUHAN.
Berikut ini diberi beberapa kasus yang berhubungan dengan pergumulan mencari dasar teologis dan paedagogis masyarakat majemuk, yaitu bagaimana bersikap terhadap sesama yang berbeda agama.
Kasus-kasus Pluralisme Asia dan Indonesia
Kasus Asia: di Chiang Mai, Muang Thai, 18 – 27 April 1977
“Dialog pertemuan dengan “mereka yang di luar”: Renungan Alkitab Chr. Barth
Gereja dalam sejarah perkembangannya terus menghadapi berbagai pergumulan, khususnya dengan sesama yang beragama lain. Bagaimana gereja bersikap terhadap sesama yang beragama Islam, Hindu, Budha, Kong Fu Cu dan agama-agama lainnya yang tidak disebutkan disini. Dalam sebuah pertemuan Gereja berskala dunia yang disebut dengan Dewan Gereja Dunia (DGD). Di dalam pertemuan itu, pokok yang dibahas adalah bagaimana menentukan sikap terhadap orang-orang yang beragama non Kristen. Bagian ini disebut dengan “Dialog”. Apa dan bagaimana Gereja/orang Kristen berdialog dengan agama-agama lain?. Apakah praktik “dialog” yang dilakukan gereja/orang Kristen itu memiliki dasar teologis (Alkitab). Salah satu jawaban itu dapat kita perhatikan dalam renungan Prof. Dr. Chr. Barth terhadap peserta siding DGD di Chiang Mai. Bart memakai istilah “mereka yang di luar” untuk menunjukkan sesama yang beragama lain/di luar agama Kristen, seperti saudara-saudara kita yang beragama Hindu, Budha, dan Islam. Persoalan yang mendasar yaitu “bagaimana seharusnya orang Kristen mendekati mereka yang di luar gereja? Apakah dengan penginjilan yang tradisional, atau dalam sikap baru yang yang bersedia untuk belajar dari pihak yang lain?. Sikap seperti apakah yang mesti dipakai dalam hubungan dengan sesame yang berbeda agama yang hidup secara bersama dalam sebuah masyarakat Indonesia.
Bagaimana setiap pendidik Kristen memahami kesaksian Biblika tentang pergumulan pluralism?.
Renungan Prof Bart merupakan salah satu dari sekian usaha untuk memahami pergumulan kehidupan orang Kristen dengan segenap tugas didaktik-Nya yang dilaksnakan dalam masyarakat majemuk. Dalam renungan Chr. Bart, dipakai dua istilah yang menarik, yaitu:
(1) Lingkungan dalam, dan
(2) Lingkungan luar
Alasan biblika yang dikemukan dalam renungan Prof. Dr. Chr. Bart yaitu bahwa Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Lama disaksikan bahwa sejak awal dunia TUHAN memperhatikan manusia. Dengan kata lain, Alkitab menyaksikan betapa besar perhatian TUHAN terhadap manusia. Perhatian TUHAN terhadap segenap manusia tidak menghilangkan apa yang disebut Bart dengan “lingkungan dalam, dan lingkungan luar”. Dua lingkungan itu punya hubungan dengan TUHAN dan sesama. Tuhan berhubungan dengan “lingkungan dalam”, yaitu umat pilihan-Nya, sementara dengan “lingkungan luar” yaitu umat non pilihan agak jarang TUHAN berhubungan dengan lingkunag luar. Bila Bart menyatakan renungan seperti ini, tidak secara otomatis Bart dinilai orang yang hendak mengesampingkan “lingkungan luar” (orang-orang bukan umat pilihan TUHAN/non Israel pada waktu itu). Akan tetapi yang ingin ditekankan Bart adalah pentingnya suatu pokok dalam Alkitab bukanlah ditentukan karena banyak ayat dalam Alkitab PL yang menekankan hal itu. Memang benar bahwa lingkungan dalam lebih banyak dibicarakan dalam Alkitab tetapi Alkitab juga bicara tentang perhatian Tuhan terhadap lingkungan luar melalui anggota lingkungan dalam, hal itu dapat kita perhatikan dalam Kasus Yunus yang diutus ke Niniwe. TUHAN memberi perhatian terhadap lingkungan luar yaitu Niniwe dengan jalan mengutus Yunus (salah satu anggota) lingkungan dalam (umat pilihan) untuk menyatakan perhatian Tuhan terhadap orang lain (warga Niniwe).
Beberapa nats Alkitab yang berhubungan dengan “orang luar”, dan yang dapat dikatakan “merangkumi” (inklusif).
1. Kejadian Pasal 12
2. Kejadian Pasal 13
3. Kejadian Pasal 14
4. Kejadian Pasal 15
5. Kejadian Pasal 16
6. Kejadian Pasal 17
7. Kejadian Pasal 18
8. Kejadian Pasal 19
9. Kejadian Pasal 20
10. Kejadian Pasal 21
11. Kejadian Pasal 22
12. Kejadian Pasal 23
13. Kejadian Pasal 25
14. Kejadian Pasal 26
15. Kejadian Pasal 27
16. Kejadian Pasal 28
17. Kejadian Pasal 29
18. Kejadian Pasal 30
19. Kejadian Pasal 31
20. Kejadian Pasal 32
21. Kejadian Pasal 33
22. Kejadian Pasal 34
23. Kejadian Pasal 35
24. Kejadian Pasal 13
25. Kejadian Pasal 36
26. Kejadian Pasal 37
27. Kejadian Pasal 38
28. Kejadian Pasal 39
29. Kejadian Pasal 40
30. Kejadian Pasal 41
31. Kejadian Pasal 42
32. Kejadian Pasal 43
33. Kejadian Pasal 44
34. Kejadian Pasal 45
35. Kejadian Pasal 46
36. Kejadian Pasal 47
37. Kejadian Pasal 48
38. Kejadian Pasal 49
39. Kejadian Pasal 50
40. Efesus, 2 (Jauh, dan dekat/ Komunitas Jauh dan Komunitas Dekat)
Lingkungan dalam dan Lingkungan Luar: Eksklusif dan Inklusif
Pokok percakapan ekslusif dan inklusif memang akan dibicarakan pada pokok-pokok terakhir dari mata kuliah PAK dalam Masyarakat Majemuk dalam topic “Sikap Inklusif dan Multikultural”. Namun dalam paparan ini hendak dibicarakan eksklusif dan inklusif dalam hubungan dengan dasar teologi Masyarakat Pluralisme Indonesia. Sikap eksklusif dan inklusif dari “lingkungan dalam”. Artinya sering umat Israel bersikap eksklusif (tertutup) dan inklusif (terbuka) terhadap sesama yang berbeda agama. Sikap eksklusif dan inklusif itu tidak hanya ada pada umat-Nya tetapi juga dilakukan oleh TUHAN. Dengan kata lain TUHAN sering bertindak eksklusif dan inklusif. Prof. Dr. Chr. Bart. Bart dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono menyatakan:
Sering TUHAN bertindak hanya sebagai Allah orang Israel saja. Periode seperti itu disebut eksklusif. Selain itu TUHAN juga bertindak sebagai Allah seluruh bangsa, tindakan seperti ini disebut Inklusif. Akan hal ini Chr. Bart menyatakan bahwa ini bukan cita-cita inklusif, akan tetapi tindakan Allah yang merangkumi bangsa-bangsa serta anggota-anggotanya. Bart juga menyatakan bahwa ini bukan juga teori universalisme atau ajaran bahwa TUHAN yang esa adalah Tuhan segenap manusia, melainkan sesuatu tindakan TUHAN pada zaman bangsa-bangsa pada waktu itu, hal ini mendorong para nabi, ataupun pemberita lainnya, untuk menulis nats-nats yang bersifat perangkum itu. (Ibid)
Bart dalam renungannya memperkenalkan paling tidak tiga zaman utama yaitu zaman di mana umat Israel menyaksikan kerelaan Tuhan untuk bertindak sebagai Allah semua bangsa. Pembagian ini menurut Bart dimulai dengan (1) zaman raja Daud dan (2) zaman raja Salomo.
Zaman dari kedua raja ini yaitu raja Daud dan Salomo terjadi penaklukan berbagai-bagai bangsa dan suku-bangsa tetangga yang sejak itu berada dibawah pemerintahan yang sama dengan suku-suku Israel sendiri.
Di dalam Negara dan masyarakat yang majemuk itu, orang-orang Israel dan orang-orang asing itu mulai bertemu dan bergaul secara intensif; kadang-kadang bangsa Israel menaruh perhatian (konsentrasi) pada hubungan yang timbal balik yang makin mendalam. Selanjutnya Bart menyatakan bahwa pergaulan yang erat itu hanya berlangsung selama dua-tiga angkatan saja. Ketika kerajaan Israel raya terpecah menjadi dua kerajaan kecil maka bangsa-bangsa tetangga hidup berdaulat kembali sehingga hubungan menjadi makin lama makin renggang, dan umat Israel semakin menyendiri kembali (eksklusif)
(3) Tiga abad kemudian (setelah Daud dan Salomo) , bangsa Israel mengalami suatu krisis yang dahsyat. Hukuman Allah menimpa umat Israel dan sebagian besar dari anggotanya tersebar di antara segala bangsa di Timur tengah kuno. Namun demikian umat Allah hidup terus dan Tuhan tetap berfirman kepada bangsa Israel melalui perantaraan para nabi. Pada zaman yang pahit itulah bangsa Israel untuk kedua kalinya membuka diri untuk berdialog dengan bangsa-bangsa yang tidak seiman dengan mereka. Sikap ini disebut inklusif (M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono)
Zaman yang inklusif itu diganti dengan abad-abad kesepian, di mana Israel menyendiri dan menutup diri sekedar untuk menemui kembali identitasnya sendiri dan untuk mempertahankannya. Dengan menaklukkan seluruh Timur Tengah di bawah pemerintahan Iskandar terbukalah zaman yang ke tiga; di dalam kerajaan raksasa itu bangsa-bangsa timur dan barat dipersatukan. Bangsa Israel belajar mengenal dengan masing-masing kebudayaan dan agama dan saling mempengaruhi.
Ketika Bangsa Romawi menguasai tanah perjanjian terjadilah pengaruh yang disebut “hellenisme”. Zaman itu (zaman hellenisme) memaksa kaum Yahudi/bangsa Israel untuk berdialog secara baru dengan yang tidak seagama dengan orang Yahudi, dalam istilah Bart mereka ini disebut “orang-orang luar”. Akibat pertemuan itu kelihatan dalam bagian-bagian Alkitab yang ditulis pada zaman itu, sama seperti halnya pada kedua zaman “inklusif” yang sebelumnya.( M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono)
Rasul Paulus memakai istilah yang dahulu “jauh”, dan menjadi “dekat”. .Zaman itu disebut dengan zaman penggenapan sejarah umat Allah yaitu zaman dalam kedatangan Kristus. Perkataan Rasul Paulus: mereka yang dahulu “jauh” sudah menjadi “dekat” di dalam Yesus Kristus, yang telah meruntuhkan tembok pemisah antara kaum Yahudi dan kaum kafir sekali untuk seterusnya (Efesus 2)
Nats-nats yang dipakai oleh Prof. Dr. Chr. Bart untuk menggambarkan bagaimana “bangsa Israel/umat pilihan” termasuk “Gereja/orang Kristen” berdialog dengan orang-orang yang bergama lain. Ayat-ayat itu terambil dari antara tulisan-tulisan Zaman pertama. Bagi Bart, pertemuan antara umat Allah dan bangsa-bangsa lain menjadi hal yang paling menarik. Bart menyatakan: bukankan disinilah Israel menggumuli untuk pertama kalinya, bagaimana tempatnya di tengah-tengah umat manusia seluruhnya? Bart menjawabnya dengan menyatakan: “pada zaman raja-raja Daud dan Salomo terkaranglah karya-karya sejarah , kebijaksanaan dan syair-syair yang tak terbanding. Penelitian ilmiah terbaru juga membuktikan , bahwa pada zaman itu cerita-cerita tentang para bapa leluhur, yang tadinya beredar dalam bentuk lisan, mulai diberikan bentuk tertulis, dan dengan demikian mendapat tekanan-tekanan yang baru (Kejadian 12-50)”.
Cerita tentang Abraham, Ishak dan Yakub mulai pada kejadian 12:1 dengan perintah Allah yang terkenal itu kepada Abraham: “Berfirmanlah TUHAN kepada Abram” “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”.
Kelangsungan cerita ini nampak dengan jelas apabila kita beralih pada ayat 4: lalu pergilah Abram seperti yang difirmanlan TUHAN kepadanya.
Cerita yang sederhana dan berkesan itu hanya menyangkut Abram dan Allah saja. Jika untuk sementara kita hanya memperhatikan ayat-ayat yang langsung melanjutkannya maka kita membaca : Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem (ayat 6). Di situ TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu”. Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampkakkan diri kepadanya (ayat 7).
Kemudian dilaporkan bahwa Abram meneruskan perjalannya ke Bethel (ay. 8), lalu sekali lagi diberikan janji , bahwa keturunannya akan dianugerahkan negeri itu (13:17) dan bagaimana akhirnya ia tiba di tempat suci di Mamre, dekat Hebron dan menetap di sana (13:18). Di tempat tujuan perjalanan itu Allah sudi mengikrarkan janji dengan penuh hikmat, bahwa “negeri mulai dari sungai Mesir sampai ke suangai yang besar, Efrat itu” yaitu daerah-daerah banagsa yang lain yang pernah Daud miliki pada puncak kekuasaannya, akan diberikan kepada keturunan Abram itu (Kej. 15: 18-21).
Beberapa pertimbangan tentang jalannya cerita ini membawa kita kepada suatu penemuan yang penting, yaitu:
1. Di dalam kisah yang telah dibacakan tadi nampaknya kita menghadapi sebuah “laporan perjalanan”, yakni bagaimana Abram pindah dari Haran ke Hebron dengan berhenti sebentar di Sikhem dan di Bethel itu. Kalau pengalaman Abram di Mesir(12:10-20), peristiwa antara Abram dan Lot (13:1-13), peperangan Abram terhadap raja-raja di Timur (fs 14), janji kelahiran seorang putra serta pemberian janji Allah kepada Abram (fs 15), maka semua cerita ini ditambahkan pada kisah inti, dengan alasan dan tujuan yang berlain-lainan.
2. Kisah inti nampaknya bermaksud menceritakan bagaimana Abram dijanjikan suatu negeri kepunyaannya dan bagaimana ia pergi memilikinya dengan syah. Janji diulang berkali-kali, dan pengalimatannya makin lengkap, di setiap tempat perhentiannya Abram memberikan sebuah mezbah bagi Tuhan, seakan-akan ia turut menanda-tangani surat penghibahan resmi yang Allah berikan itu.
3. Di dalam kisah inti nampaknya kebanggaan orang Israel pada zaman raja Daud, dimana segala janji Allah kepada Abram terwujud dan sejumlah bangsa saling ditaklukkan oleh umat Allah. Kisah ini sedikit-banyak mencerminkan kebanggaan nasional, bahkan semacam kesombongan yang saleh. Boleh jadi bahwa pada zaman raja Daud sikap yang demikian tidak dapat dikatakan salah.
Dengan cerita inti tadi sebagai landasan, ada baiknya kalau sekarang kita
memperhatikan sejumlah ayat dari fasal 12 yang tadi kita biarkan. Setelah zaman Daud yang mulia itu berlalu, kisah Abram diceritakan terus, namun diberikan tekanan baru. Telah timbul angkatan baru yang diperhadapkan dengan keadaan yang baru pula. Di bawah pimpinan Roh Tuhan, pengertian baru terjalin ke dalam kisah Abram itu. Dua tambahana dari jaman tersebut patut dibicarakan di sini.
Yang pertama adalah Kejadian 12:2-3 yang terselip antara perintah Allah (“pergilah…. Ke suatu negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”) dan pelaksanaannya oleh Abram itu (“ lalu pergilah Abram seperti difirmankan Allah kepadanya”). Allah berfirman: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar dan memberkati engkau serta membuat namamu besar, dan engkau akan menjadi berkat, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”
Tak dapat disangkal bahwa dengan penambahan itu kisah Abram diberikan makna yang baru : Abram dan keturunannya tidak lagi menikmati rencana penyelamatan Allah itu sendiri saja, orang-orang di luar Israel juga mendapat bagian di dalam keselamatan itu. Lagi pula Abram tidak menerima berkat bagi dirinya saja, iapun mendapat suatu peranan baru: ia beserta keturunannya menjadi pengantara berkat kepada kaum manusia seluruhnya. Bangsa-bangsa di muka bumi, dan pertama-tama bangsa-bangsa tetangga menjadi partner bagi dia, orang-orang yang memerlukan Abram dan orang-oranmg yang dibutuhkannya sendiri pula. Peranan baru ini menjadi suatu tanggung jawab yang hebat bagi bapa leluhur serta keturunannya; tradisi tentang Abraham, Ishak dan Yakub menekankannya berulang-ulang (Kej 18:18; 28:14; bnd 26:4; 22:18 Yes 19:24)
Penambahan yang demikian mencerminkan bahwa mereka yang memberikan kepada kisah Abram bentuk dan isi yang kita kenal sekarang ini, dikaruniakan suatu pengertian baru tentang maksud Allah. Pengertian yang baru itu datang dari pada Tuhan, tetapi baru dipahami orang di dalam suatu zaman sejarah, dimana orang-orang dari berbagai-bagai bangsa, suku, budaya dan agama harus hidup bersama dalam kerajaan yang satu, seperti halnya di bawah pemerintahan raja Daaud dan Salomo itu.
Di dalam Kejadian 12 itu terdapat suatu penambahan yang lain lagi, yakni perjalanan Abram ke Mesir (12: 10-20). Di situ diberitakan bagaimana Abram jatuh dan gagal: ia menyangkal istrinya sendiri, menghianati dia yang akan menjadi leluhur umat Israel, dan dengan demikian Abram membahayakan keakanannya sendiri serta keturunannya. Segala berkat dan janji yang telah dikaruniakan Allah kepada Abram apakah semuanya akan dibatalkan karena Abram berbohong itu?
Di dalam kisah ini bukan berkat, hidup dan keakanan bapa leluhur sendiri saja yang terancam, melainkan Firaun dan orang-orang Mesir itupun turut diperhadapkan pula malapetaka dan sengsara. Semestinya Abram menjadi suatu berkat bagi para pembesar di Mesir itu, sama seperti kemudian hari Yusuf akan menjadi suatu berkat bagi mereka itu. Akan tetapi ternyata bahwa Abram malah menjadi suatu ancaman. Kisah ini nampaknya bermaksud menerangkan, bahwa Abram tidak dapat menjalankan tugas-panggilannya dengan menggunakan tipu-daya. Suatu dialog antara “orang dalam” dan “orang luar” apalagi suatu persekutuan antara kedua pihak tidak mungkin selagi Abram menyangkal janji Allah dan takut terhadap manusia yang “di luar” itu.
Kita telah membicarakan pengertian baru yang dikaruniakan kepada para pembawa kisah kitab Alkitab yang termasuk pada angkatan yang hidup beberapa tahun tersebut menambah perkataan dan peristiwa yang menyangkut “orang luar” ke dalam cerita-cerita yang tadinya kurang memperhatikan orang di luar lingkungan sendiri. Apakah aliran pemikiran yang baru itu juga nampak pada bagian-bagian lain di dalam tradisi tentang para bapa leluhur? Memang demikian halnya. Di sini cukuplah kami sebutkan beberapa contoh yang terkemuka saja. Di dalam Kej. 18:18 janji Allah terancam oleh pemusnahan; bukankah hamba-Nya itu ditentukan menjadi suatu berkat bagi bangsa-bangsa? Makanya Abraham menaikkan doa syafaat bagi Sodom itu (18: 23-33), dan doanya itu tak lain daripada usaha Abraham untuk mengantarkan berkat kepada bangsa-bangsa yang “di luar” itu.
Pada Kej. 26, Ishak dan marganya tinggal di negeri orang Filistin. Kisah lama, yang berkobar-kobar semangat nasional itu diberikan pengarahan baru dengan penambahan-penambahan tertentu : diceritakanlah bahwa Ishak bersikap takut dan kurang percaya, sama seperti ayahnya di Mesir dulu (26:7-11), akan tetapi justru orang Filistin yang bangsanya akan menjadi musuh yang paling seram bagi Israel kemudian hari – memperingatkan Ishak bahwa ia diberkati Tuhan (ay 26 dan 280; akibatnya Ishak rela dibayangkan betapa besar tantangan kisah ini bagi pimpinan negara zaman Daud dan Salomo.
Kenyataan yang serupa dapat kita perhatikan di dalam cerita tentang Yakub dan Esau (Kej. 27:36). Jika pada mulanya Yakub di puji karena kepandaian yang licik itu, maka revisi yang diadakan pada zman Salomo berlainan pandangan.
Tentu saja Esau tetap merupakan bapa leluhur bangsa Edom dan Laban mewakili orang-orang Aram atau Siria, bangsa-bangsa yang menjadi sangingan yang berbahaya bagi bangsa Israel. Akan tetapi Yakub tidak lagi dipandang sebagai pahlawan. Ia tidak layak untuk menerima segala kasih dan kesetiaan yang Tuhan tunjukkan kepadanya (Kej. 32:10). Ia bertindak seperti seorang hamba yang rendah, bahkan yang pernah bersalah, terhadap Esau, dan memohon perdamaian berdasarkan persaudaraan antara mereka. Laban dilayani olehnya empat belas tahun lamanya dan dijadikannya seorang yang kaya raya; hanya dengan demikian maka Yakub sendirianpun diberkati dengan berlimpah-limpah.
Melalui Abraham, Ishak dan Yakub dan keturunan mereka, melalui umat Allah dan masing-masing anggotanya, maka “segala kaum di muka bumi mendapat berkat”.
Bahan-bahan Alkitab ini tidak mungkin kita terapkan secara langsung pada masalah dialog antar agama (“dialogue in community”) yang dihadapi dalam konsultasi ini. Ketiga pertanyaan berikut ini hendak membuktikannya.
(1) Di dalam Alkitab tidak terdapat suatu pengajaran tentang makna dialog antar agama itu; kita hanya melihat sejumlah contoh tentang apa yang bisa terjadi, apabila orang dari dalam umat Allah yang terpilih itu hidup bersama dengan orang-orang “ dari luar” itu. Kita mendengar bahwa umat Allah diberikan pengertian baru tentang maksud Allah melalui peristiwa yang mereka alami di dalam suatu babak sejarah yang tertentu. Orang dari “dalam” membuka diri secara baru kepada mereka yang dari “luar” dan rela mencari jalan tengah serta pendamaian, bahkan mereka rela melayani orang-orang dari “luar” itu. Apakah sikap yang terbuka dan inklusif ini, sama seperti sikap exklusif yang memelihara kepribadian sendiri saja – mempunyai saatnya masing-masing pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang tertentu?
(2) Bagian-bagian Alkitab yang telah kita renungkan tadi memperlihatkan beberapa contoh dan pola dari pertemuan dan dialog, di mana hasilnya sama sekali tergantung pada kerelaan Allah untuk memberikan berkat-Nya.
Sepata katapun tidak menyinggung pada suatu pembicaraan yang biasanya kita sebut “dialog antar agama”. Toleransi beragama, keinginan mengenal inti kepercayaan orang lain, kerelaan untuk belajar sesuatu yang baru dari pada orang yang berlainan agamanya, semuanya itu tidak termasuk hal yang disaksikan dalam nats-nats yang dibicarakan di atas. Apakah tepat jika diambil kesimpulan, bahwa berdialog berarti memungkinkan agar orang-orang “dari luar” itu turut memperoleh bagian yang dikaruniakan Allah itu, dan bahwa hal member bagian itu perlu “mendapat bentuk” tanda-tanda persekutuan yang konkrit dan cocok dengan situasi pergaulan yang dihadapi?
(3) Bagian-bagian Alkitab yang telah kita selidiki itu menentang sikap kebanggaan dan kesombongan yang bersifat politik, budaya, etis ataupun saleh. Para bapa leluhur tidak pernah berada di dalam kedudukan yang kuat, bila mereka menemui orang-orang dari “luar” itu. Meskipun mereka dianugerahkan harta benda, mereka ternyata agak lemah, bingung, bahkan bersalah, meskipun tak pernah juga mereka menjilat orang-orang yang lebih kuat daripadanya. Apakah benar bahwa, untuk “berdialog di dalam persekutuan”, kita harus lebih dahulu menyadari kegagalan kita sendiri? Kita, orang-orang Kristen yang terhisap masuk umat Allah, tidak mempunyai alasan untuk membanggakan diri sebagai pengantar berkat Allah. Kita hanya merupakan alat dalam pelaksanaan pemberkatan yang Tuhan kerjakan sendiri.
Sesama yang beragama Non Kristen.
Bila Chr. Bart yang lahir dan dibesarkan di keluarga dan lingkungan mayoritas Kristen memakai istilah “lingkungan dalam” dan “lingkungan luar” untuk menggambarkan gereja/persekutuan Kristen dan orang di luar gereja, maka tidak demikian dengan pergumulan S. Wesley Ariarajah, ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang beragama Hindu di Sri Lanka. Ia seorang teolog dan pendeta Gereja Metodis di Sri Langka yang kemudian menjadi Profesor Teologi Oikumenis di Drew University School of Theology, Madison, New Jersey (USA). Ia memakai istilah “Tak Mungkin Tanpa Sesamaku” untuk menggambarkan sikapnya terhadap orang-orang non Kristen yang hidup berdampingan dengan warga gereja/orang Kristen di Asia. Karena di manapun dan kapanpu seseorang bertemu orang lain dari berlainan agama yang merupan pengalaman setiap hari, khususnya orang-orang Kristen di Asia dan Timur Tengah.
Berikut ini kisah pengalaman pribadi S.Wesley Ariarajah ketika lahir dan dibesarkan di Sri Langka.
Saat ia (S Wesley Ariaraja, selanjutnya disingkat SWA) masih pelajar, ia sekeluarga tinggal di sebuah kota dekat pantai sebalah utara Sri Lanka yang bernama KKS, nama sebenarnya adalah Kankesanthurai. Kankesanthurai berarti kota pelabuhan di tempat Dewa Kankesan yang merupakan salah satu Dewa dalam Agama Hindu, tiba di Sri Lanka dari India. Para Penjajah Portugis, Belanda, dan Inggris melafalkan nama kota ini dengan ucapan “Yalpanam”, kota ini disebut “kota penyanyi dengan harpa”, nama kota ini dilafal lagi menjadi “Jaffna”, dan Kankesanthurai menjadi KKS.
Warga warga penduduk di KKS mayoritas beragama Hindu. Walaupun demikian ada beberapa keluarga Kristen di KKS, seperti Katolik Roma, dan keluarga SWA yang merupakan salah satu dari dua keluarga Protestan yang ada di kota KKS. Keluarga Kristen Protestan yang lain hanya terdiri dari satu orang, sedangkan dalam keluarga SWS terdapat enam orang, yaitu kedua orangtua dan empat bersaudara SWA.
Di Sri Lanka, Gereja menganggap tiap rumah tangga itu satu “keluarga”, tanpa melihat besarnya. Menurut SWS, tidak ada gedung gereja Protestan di KKS. Di kota terdekat yang memiliki gedung gereja hanya beranggotakan tiga keluarga. Tidak ada pendeta, tetapi hanya seorang “pendeta tamu”. Kalau keluarga SWA tidak berbakti di salah satu hari Minggu, dan yang lain juga demikian, maka kebaktian Minggu itu hanya berupa doa pribadi pendeta. Keluarga SWA merupakan tujuh puluh persen dari jumlah anggota dan seratus persen dari jumlah anak-anak gereja itu.
Semula mereka tinggal di Jaffna, ibu kota Sri Lanka bagian utara, di mana ada satu jemaat Methodis yang besar, aktif dan berkembang. Mereka (SWA bersaudara) lahir di Sri Lanka. Namun, ketika SWA berumur lima tahun, mereka pindah karena Ayahnya dipindahkan ke KKS.[9]
Akibatnya, kata SWA: kami dikelilingi tetangga beragama Hindu. Sebagai anak-anak SWA bersaudara bermain dengan anak-anak Hindu, mereka pergi ke sekolah bersama anak-anak tetangga yang beragama Hindu, dan seperti lazim terjadi di Asia, mereka (SWA bersaudara) keluar masuk rumah sepanjang hari. Malah dua anak tetangga sebelah, secara teratur, ikut persekutuan doa malam keluarga mereka. Mereka berdoa untuk kegiatan mereka setiap hari, menyanyikan bersama sejumlah lagu, membaca Alkitab, dan dua atau tiga orang, termasuk anak-anak berdoa syafaat. Anak-anak keluarga Hindu itu senang, dan keluarga mereka juga senang bahwa anak-anak mereka bisa berdoa bersama kami. Kadang-kadang kami dari keluarga Kristen juga datang ke rumah keluarga Hindu di malam hari saat mereka melakukan pujas (doa agama Hindu) dan menyanyi tevarams (lagu-lagu devosional).
Ayah mengirimnya SWA dan kakanya ke sekolah berasrama Metodis di Jaffna agar mereka dapat memperoleh “pendidikan yang lebih baik” dalam “lingkungan Kristiani”. Tetapi dalam liburan, dan kalau akhir minggu panjang, mereka pulang ke KKS. Dengan demikian, anak-anak tetangga SWA yang beragama Hindu menjadi teman terdekat mereka. Saat SWA beranjak dewasa dan mulai memahami masalah-masalah agama, SWA mulai sadar akan perbedaan-perbedaan yang ada antara Kekristenan dan Hinduisme, dan menyatakan: mengapa kami beragama Kristen dan bukan Hindu. SWA juga sadar bahwa para tetangganya merupakan penganut agama Hindu yang setia, dan bagi mereka doa-doa mereka mengandung arti yang dalam. Ada hal-hal yang sangat berkesan bagi SWA adalah doa-doa tetangga yang beragama Hindu tentang kehidupan ini terwujud. Pengnut Agama Hindu adalah anggota yang sadar akan masalah masalah etis. Kenyataan bahwa SWA sekeluarga bukan Hindu, samasekali tidak berdampak kepada sikap tetangga yang beragama Hindu terhadap mereka. SWA menyatakan bahwa mereka dianggap tetangga yang beragama Hindu sebagai anak-anak mereka sendiri. Sikap keterbukaan dan kesetiakawanan ini juga diperlihatkan kepada tetangga-tetangga lainnya. Jauh sebelum SWA belajar teologi dan mampu memahami masalah-masalah agama, SWA sadar bahwa mereka adalah keluarga yang berakar dalam kasih Allah.
Walaupun SWA sangat menghargai Hinduisme sebagai satu agama dan mengagumi beberapa aspek wawasannya dalam kehidupan dan kenyataan, SWA tidak terlalu jatuh cinta padanya saat itu, atau kini setelah mempelajarinya secara mendalam. SWA mengenal banyak keluarga Hindu yang bukan merupakan penganut yang saleh, seperti juga banyak keluarga Kristen. Tidak juga berarti bahwa menjadi Hindu akan langsung membuat seseorang sensitive secara etis. Kenyatannya, saat itu banyak penganut Hinduisme yang menganggap penganut Kristen Protestan sebagai orang-orang yang bermoral tinggi dan menginginkan anak-anak mereka bergaul dengan kami. Lagi pula, para tetangga kami bukan orang-orang yang luar biasa. Sebagai keluarga, mereka juga memiliki kemampuan dan kelemahan, sebagaimana keluarga Sri Lanka pada umumnya, mereka bukan malaikat.
Namun, kesalehan religius yang tergambar dalam kehidupan mereka sangat berkesan. Kami memperoleh kesempatan untuk menikmati dan mengalami pengalaman hidup bersama, bukan hanya sebagai tetangga dekat, namun hampir sebagai keluarga sendiri. Nama keluarga mereka Sathasivam, yang artinya “Sang Abadi yang selalu bersama kami”. Satu nama yang cocok sekali.
Yang Satu dan Yang Banyak.[10]
Ketika menjelang dewasa dan mulai lebih serius terlibat dalam kegiatan iman Kristen, melalui gerakan mahasiswa, berbagai kelompok studi di gereja dan semacamnya, sedikit demi sedikit saya mulai mendengar tentang “misi”. Secara umum dapat dikatakan : semua manusia berdosa dan tersingkir dari Allah. Kita tidak mampu memperoleh keselamatan dengan kemampuan sendiri. Namun Allah, dalam kebaikan dan anugerah-Nya, telah menyatakan diri-Nya dalam Yesus. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya Yesus telah membuka jalan menuju keselamatan. Sebagai pengikut Kristus, kita sudah diselamatkan yang dia tawarkan secara cuma-cuma. Kini tanggungjawab kita adalah menyampaikan Injil ini kepada para tetangga kita yang beragama Hindu dan membawa mereka kepada Kristus.
“Bagaimana dengan orang Hindu yang berdoa dan menjalin hubungan penuh kasih dengan tetangga dan menjalankan kehidupan etis yang saleh?” saya bertanya dalam suatu kesempatan di kelompok studi.
“Memang ada orang Hindu yang baik, dan kita harus menghormati mereka”, seseorang menjawab dengan agak enggan. “Namun,, sebagaimana orang-orang religius, mereka tersesat, mereka tidak mengenal Allah yang sebenarnya. Bagaimanapun juga, kalau mereka tidak mengaku dan percaya kepada Kristus, mereka tidak akan diselamatkan”.
Para penginjil yang keras sering melakukan pertemuan terbuka di staduin Jaffna saat itu, lebih keras lagi sikapnya dengan menuduh penganut Hinduisme sebagai “penyembah berhala” dan “percaya takhyul”. Sementara kita orang Kristen telah yakin akan masuk surga, orang Hindu yang tidak percaya akan masuk neraka. Oleh karena itu, ada keharusan menyebarkan Injil kepada orang Hindu agar percaya kepada Kristus.
Ini yang Alkitab, firman Allah, ajarkan kepada kita, kata para penginjil itu sambil mengutip ayat-ayat di luar kepala.
Siapa yang berani menentang Alkitab?
Namun, hati saya hancur, mendengar pandangan semacam itu..
Saat itu memang saya seorang Kristen tulen dan angota persekutuan penelaan Alkitab, kelompok doa dan sebagainya. Saya termasuk salah seorang siswa yang disuruh misionaris di Jaffna untuk membagi-bagikan selebaran berisi ayat-ayat Alkitab di desa-dea sekitar. Saya juga sadar bahwa lebih sering orang Hindu tidak “peduli”. Mereka dengan rasa hormat mendengarkan apa yang kami katakan dan berdiskusi dengan kami, tetapi jarang yang bertobat.
Apakah tetangga saya di KKS juga akan masuk neraka karena mereka bukan Kristen? Apakah mereka sama sekali tidak ada relasi dengan Allah? Apa pandangan kita tentang kehidupan peribadahan mereka dan semua dampak ibadah mereka?
Saat itu saya belum mampu memahami masalah itu secara teologis; saya juga tidak memiliki pengetahuan apapun tentang itu. Namun, saya “merasakan” sesuatu yang dalam, bahwa tidak adil rasanya kalau Allah menerima kami, keluarga Kristen kealam surga dan mengirim tetangga kami yang Hindu ke neraka. Saya belum mampu memahaminya dengan baik, hal itu sangat tidak adil. Saya tidak bersedia masuk surga kalau tetangga saya tidak.
Belum lama ini saya membaca sebuah buku yang juga telah difilmkan, berjudul Not Without My Daugter, mengenai masalah yang berbeda tentunya. Kedua masalah ini sulit saya pahami karena saya khawatir akan memperkuat karikatur yang kini ada dalam Islam. Namun, judul maupun filmnya merupakan gema yang jelas sekali dari perasaan yang menimpa saya empat puluh tahun sebelumnya, saat saya mendengar para penginjil berbicara tentang keselamatan, surga dan neraka. Saat itu saya belum pernah memahami maupun mengatasi “perasaan” tersebut secara teologis.
Judul buku Not Without My Daughter (Tak Mungkin Tanpa Sesamaku), merupakan inspirasi dari buku yang saya baca itu yang kini bukan hanya merupakan pergumulan saya, tetapi juga dilema banyak orang Kristen di Asia yang hidup di antara sesama mereka sesuatu yang terkandung dalam ungkapan “kehidupan dalam Allah”. Terkadamg hubungan itu begitu erat dan pemahaman mereka tentang kehidupan spiritualitas “sesama” mereka begitu jelas sehingga mereka ditolak di dalamnya. Inilah yang bagi mereka, seperti juga bagi saya, suatu dilema moral.
Kini kita tidak lagi berbicara tentang kami “ke surga” dan mereka “ke neraka”. Kita mengenal mitos dan lambang dalam bahasa agama yang menunjukkan kedalaman berbagai kenyataan. Kebanyakan kita juga terlalu menganggap perlunya berbicara tentang kenyataan ini melalui metafora seperti “surga” dan neraka”. Kita sudah belajar menghormati iman sesama, karena itu jarang menuduh orang-orang Hindu sebagai “pemuja berhala”. Dalam gereja, pandangan teologi dan teologi agama-agama telah “diperluas” untuk menampung adanya pluralitas dan kebangkitan kembali agama-agama. Dialog antar agama dan kerja sama antar agama telah menjadi hal yang umum diterima.
Namun dari kalbu terdalam, muncul pertanyaan apakah kita telah mampu menyelesaikan ketegangan spiritualitas yang saya alami saat beranjak dewasa? Apakah gereja telah mengambil sikap terhadap kehidupan religius tetangga Hindu saya?
Saya teruskan cerita saya. Perhatian saya tertuju ke dua arah. Di satu sisi, dibawah pengaruh tokoh-tokoh Kristen, termasuk D.T. Niles, seorang tokoh oikumenis yang cukup dikenal, dan pendeta saya di Jaffna selama enam tahun yang mempersiapkan saya dan teman-teman untuk sidi , iman Kristen saya menjadi lebih teguh, dan melibatkan diri dalam pelayanan Gereja Metodis. Di sisi lain , saya memutuskan mungkin tanpa disadari, untuk tidak membiarkan dilemma tetangga-tetangga Hindu saya tanpa diteliti lebih dalam. Oleh karena itu, saya juga melakukan studi mendalam tentang agama Hindu dan Buddha, dan agama-agama yang menonjol di Sri Lanka yang dianut oleh 85% penduduk. Saya mulai tertarik dengan dialog antar agama yang dipimpin oleh seorang oikumenis veteran, Lynn de Silva.
Semua ini kemudian membuat saya terlibat dalam dialog Dewan Gereja se –Dunia (DGD), dan akhirnya mempimpin Sub-unit Dialog, suatu posisi yang ditinggalkan Stanlay Sumartha karena pensiun. Dr. Samartha, yang merintis program Dialog dari DGD dan memimpinnya selama periode pembentukan dan masa-masa sulit, adalah guru saya tentang agama Hindu dan filsafat India. Transisi kepemimpinan dari guru ke murid berjalan lancar.
Dasar Paedagogis
Secara paedagogis, berlangsung kegiatan orang dewasa memberi bimbingan atau tuntunan kepada orang belum dewasa untuk mencapai kemanusiaan secara utuh. Adam dan Hawa melaksanakan proses paedagogik itu kepada anak-anaknya, Kain, Zet melanjutkan proses paedagogik itu kepada anak-anaknya. Demikian seterusnya dalam proses perkembangan manusia sampai munculnya proses paedagogik secara formal (Sekolah). Dalam masyarakat majemuk pendidikan (mendidik) atau paedagogik yaitu kesediaan orang dewasa menuntun orang belum dewasa, atau tuntunan kepada anak dapat berlangsung.
Jadi dasar paedagogi masyarakat majemuk adalah bahwa tuntunan kepada anggota masyarakat majemuk yang masih belum dewasa (anak) mesti dilakukan oleh yang telah dewasa (orang tua, guru dll). Butuh orang dewasa dalam masyarakat majemuk untuk melaksanakan tuntunan/bimbingan/arahan kepada anak. Dalam konteks pemahaman demikian maka penting kehadiran seorang Guru Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat majemuk untuk melaksanakan tugas paedagogik itu. Bagaimana Guru Pendidikan Agama Kristen melaksanakan tugas paedagogik terhadap peserta didik dalam masyarakat majemuk, khususnya kemajemukan dalam agama, peserta didik Kristen akan berinteraksi dengan peserta didik yang berasal dari agama lain. Sikap seperti apakah yang dapat dipakai untuk bersikap terhadap saudara-saudara yang beragama non Kristen. Paedagogik di Sekolah, di Gereja, dan di Keluarga/rumah.
Misalnya bagaimana Guru Pendidikan Agama Kristen mendidik anak-anak di rumah ketika anak sedang menonton acara TV dari agama non Kristen? Ketika dikumandangkan azan di TV, dll.
Salam
Yonas Muanley
Nama Mahasiswa : Tioma Sihotang
ReplyDeleteNim : 09-547
1.Realita masyarakat majemuk di Indonesia ialah masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budayanya masing-masing. Kemajemukan budaya di indonesiadapat dilihat dari secara sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah.
2. yang dimaksud dengan “lingkungan dalam dan lingkuangan luar” ialah
Lingkungan Dalam : adalah orang-orang yang menjadi pilihan Tuhan Yesus Kristus atau orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
Lingkungan Luar : adalah orang–orang yang tidak percaya kepada Yesus Kristus. Tetapi Tuhan Yesus tetap mengasihi mereka lewat umat pilihan-Nya.
3.Menurut saya Prinsip PAK dalam masyarakat majemuk ialah bahwa keselamatan itu tidak hanya milik orang kristen semata, tetapi miliki semua orang yang mau percayadan mau menerima Dia sebagai juru Selamat dalam hidupnya. Dengan prinsip ini, sebagai kita sebagai orang kristen tidak boleh menutup diri, kita harus mengabarkan Injil, agar lingkungan luar itu, menjadi percaya, karena mereka juga berhak untuk mendengarkan kabar keselamatan dan menerima Yesus Sebagai Juru Selamat dalam hidupnya.